Saudara-saudara, "hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan" (Filipi 2:5-6).
Kebenaran orang Kristen ada dua macam, sama seperti dosa manusia ada dua macam.
Kebenaran yang pertama adalah kebenaran dari luar, yaitu kebenaran orang lain. Kebenaran ini adalah kebenaran Kristus yang membenarkan kita melalui iman, seperti tertulis dalam 1 Korintus 1:30, "Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita." Dalam Yohanes 11:25-26, Kristus sendiri berkata, "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku ... tidak akan mati selama-lamanya." Kemudian Dia menambahkan dalam Yohanes 14:6, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." Kebenaran ini diberikan kepada seseorang dalam baptisan dan ketika dia benar-benar bertobat. Karena itu, seseorang dapat dengan yakin bermegah dalam Kristus dan berkata: "Milikkulah hidup, perbuatan, perkataan, penderitaan, dan kematian Kristus, semuanya milikku seolah-olah aku sendiri yang telah hidup, berbuat, berkata, menderita, dan mati." Ini sama seperti mempelai laki-laki akan memiliki semua yang dimiliki mempelai perempuannya, dan begitu pula sebaliknya. Mereka berdua memiliki segalanya bersama karena mereka telah menjadi satu (Kejadian 2:24). Begitu juga Kristus dan Gereja, keduanya adalah satu roh (Efesus 5:29-32). Seperti kata Petrus, Allah Bapa yang terberkati telah menganugerahkan kepada kita kasih karunia yang berharga dan yang sangat besar di dalam Kristus (2 Petrus 1:4). Paulus menulis dalam 2 Korintus 1:3, "Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga." Kasih karunia dan berkat yang tak terlukiskan ini telah lama dijanjikan kepada Abraham dalam Kejadian 22:18, "Oleh keturunanmulah (yaitu, di dalam Kristus) semua bangsa di bumi akan mendapat berkat." Yesaya 9:6 mengatakan, "Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita." Yesaya mengatakan "untuk kita" karena Dia, dengan segala kebaikan-Nya, memang milik kita jika kita percaya kepada-Nya. Hal ini selaras dengan yang tertulis dalam Roma 8:32, "Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" Karena itu, segala sesuatu yang dimiliki Kristus adalah milik kita. Itu semua dikaruniakan kepada kita yang tidak layak karena kemurahan Allah semata, meskipun sebenarnya kita lebih pantas menerima murka, penghukuman, dan neraka. Kristus sendiri datang ke dunia untuk melakukan kehendak Bapa-Nya yang mahakudus (Yohanes 6:38). Dia taat kepada Bapa-Nya, dan apa pun yang Dia lakukan, Dia melakukannya untuk kita dan menginginkan agar kita menerimanya, seperti yang dikatakan-Nya, "Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan" (Lukas 22:27). Dia juga berkata, "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu" (Lukas 22:19). Yesaya 43:24 mengatakan, "Engkau memberati Aku dengan dosamu, engkau menyusahi Aku dengan kesalahanmu."
Melalui iman di dalam Kristus, kebenaran Kristus menjadi kebenaran kita. Segala yang Dia miliki menjadi milik kita. Bahkan, Dia sendiri menjadi milik kita. Itulah alasan Rasul Paulus menyebutnya "kebenaran Allah" dalam Roma 1:17. Karena dalam Injil "nyata kebenaran Allah ... seperti ada tertulis: 'Orang benar akan hidup oleh iman.'" Dalam Roma 3:28, iman seperti itu disebut "kebenaran Allah", seperti yang tertulis di ayat itu, "Manusia dibenarkan karena iman." Kebenaran ini tak terbatas, yakni kebenaran yang menelan semua dosa dalam sekejap, karena dosa tidak bisa ada di dalam Kristus. Orang yang percaya kepada Kristus, hidup di dalam Kristus. Mereka satu dengan Kristus, memiliki kebenaran yang sama dengan Kristus. Jadi, dosa tidak mungkin tinggal di dalam mereka. Kebenaran inilah yang utama. Kebenaran ini adalah dasar, penyebab, dan sumber untuk semua kebenaran kita sendiri. Kebenaran ini menggantikan kebenaran semula yang telah hilang dari Adam. Kebenaran ini mencapai apa yang seharusnya dicapai oleh kebenaran yang semula, bahkan lebih lagi.
Dalam pengertian inilah kita dapat memahami doa di Mazmur 31:1, "Pada-Mu, Tuhan, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku mendapat malu. Luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu [kebenaran-Mu, -pen.]." Doa ini tidak mengatakan "dalam kebenaranku", tetapi "dalam kebenaran-Mu", yaitu kebenaran Kristus, Allah kita, yang menjadi milik kita melalui iman, kasih karunia, dan rahmat Allah. Dalam banyak bagian Mazmur, iman disebut sebagai "pekerjaan Tuhan," "pengakuan," "kuasa Allah," "rahmat," "kebenaran," dan "keadilan." Semua itu adalah nama untuk iman di dalam Kristus, atau tepatnya untuk kebenaran di dalam Kristus. Karena itu, Rasul Paulus berani berkata di Galatia 2:20, "Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup. Ia juga mengatakan dalam Efesus 3:14-17: "Aku sujud kepada Bapa ... supaya Ia ... menguatkan dan meneguhkan kamu ... sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu."
Kebenaran dari luar ini dimanifestasikan di dalam kita, bukan karena perbuatan kita, tetapi karena kasih karunia Tuhan semata, di mana Bapa, dengan kasih-Nya, menarik kita dari dalam ke arah Kristus. Kebenaran ini dapat dibandingkan dengan dosa pertama kita, yakni dosa yang kita dapatkan tanpa berbuat apa pun, melainkan kita warisi bersama kelahiran kita. Semakin hari semakin banyak manusia lama kita terusir oleh Kristus, yakni sesuai dengan pertumbuhan iman dan pengenalan kita akan Kristus. Kebenaran dari luar ini tidak termanifestasi sekaligus, tetapi dimulai, bertumbuh secara bertahap, dan akhirnya mencapai kesempurnaan pada saat kita mati.
Jenis kebenaran yang kedua adalah kebenaran kita sendiri, bukan karena kita sendiri yang mengerjakannya, tetapi karena kita mengerjakannya dengan kebenaran yang pertama, yakni kebenaran yang dari luar itu. Inilah hidup yang dihabiskan secara bermanfaat dengan perbuatan baik, pertama, dengan mematikan daging dan menyalibkan keinginan-keinginan manusia lama, seperti yang tertulis dalam Galatia 5:24, "Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya." Kedua, kebenaran ini artinya memiliki kasih terhadap sesama dan, ketiga, kelemahlembutan serta takut akan Tuhan. Rasul Paulus seringkali membahas tentang ini, dan begitu juga Alkitab secara keseluruhan. Namun, dia meringkas semuanya secara singkat di Titus 2:12, "Hidup bijaksana (menyalibkan daging), adil (terhadap sesama), dan beribadah (kepada Tuhan) di dalam dunia sekarang ini."
Kebenaran ini adalah hasil dari kebenaran yang pertama, yakni buah dan akibatnya, seperti yang tertulis di Galatia 5:22, "Tetapi buah roh [maksudnya, orang yang rohani, yang hidup bergantung pada iman kepada Kristus] ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." Karena perbuatan-perbuatan yang disebutkan adalah perbuatan manusia, jelaslah bahwa dalam ayat ini orang yang rohani disebut "roh". Di Yohanes 3:6 kita membaca: "Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh." Kebenaran ini terus melengkapi kebenaran yang pertama karena selalu berusaha untuk menyingkirkan manusia lama dan menghancurkan tubuh dosa. Karena itu, ia membenci dirinya sendiri dan mengasihi sesamanya; ia tidak mencari keuntungannya sendiri, tetapi keuntungan orang lain, dan beginilah seluruh hidupnya dibangun. Karena ia membenci dirinya sendiri dan tidak mencari keuntungannya sendiri, ia menyalibkan daging. Karena tidak mencari keuntungannya sendiri, melainkan keuntungan orang lain, ia mengasihi. Dengan demikian, dalam setiap bidang, ia melakukan kehendak Allah, hidup dengan bijaksana terhadap diri sendiri, adil terhadap sesama, dan beribadah kepada Allah.
Dalam hal ini, kebenaran ini mengikuti teladan Kristus (1 Petrus 2:21) sehingga orang diubah menjadi serupa dengan Dia (2 Korintus 3:18). Inilah tepatnya yang Kristus inginkan. Seperti Kristus melakukan segala sesuatu untuk kita, tidak mencari keuntungannya sendiri, melainkan keuntungan kita—dan dalam hal ini Dia taat penuh kepada Allah Bapa—begitu pula Dia menginginkan agar kita memberikan teladan yang sama kepada sesama kita.
Kita baca di Roma 6:19 bahwa kebenaran ini disandingkan dengan dosa kita sendiri, "Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan." Jadi, melalui kebenaran yang pertama, terdengar suara mempelai pria yang berkata kepada jiwa, “Aku milikmu,” tetapi melalui kebenaran yang kedua, terdengar suara mempelai wanita yang menjawab, “Aku milik-Mu.” Pernikahan itu pun dapat terlaksana, menjadi kuat dan sempurna, sesuai dengan Kidung Agung 2:16: "Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia." Jiwa tak lagi berusaha untuk dibenarkan dalam dirinya dan bagi dirinya, tetapi memiliki Kristus sebagai kebenarannya dan karena itu ia hanya mencari keuntungan orang lain. Itulah sebabnya Tuhan atas Rumah Ibadah mengancam melalui Nabi Yeremia, “Di kota-kota Yehuda serta di jalan-jalan Yerusalem akan Kuhentikan suara kegirangan dan suara sukacita, suara pengantin laki-laki dan suara pengantin perempuan” (Yeremia 7:34).
Inilah yang dimaksud oleh ayat yang sedang kita bahas ini, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:5). Ini berarti Saudara harus memiliki pikiran dan perasaan terhadap satu sama lain seperti pikiran dan perasaan yang dimiliki Kristus terhadap Saudara. Bagaimana caranya? Tentu dengan begini, "yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:6-7). Istilah "rupa Allah" di sini tidak berarti "hakikat Allah" karena Kristus tidak pernah mengosongkan diri-Nya dari hakikat Keallahan. Begitu pula, frasa "rupa seorang hamba" tidak dapat diartikan "hakikat manusia". Sebaliknya, "rupa Allah" adalah hikmat, kuasa, kebenaran, kebaikan, serta kebebasan karena Kristus adalah manusia yang bebas, berkuasa, dan bijaksana. Dia tidak tunduk pada kejahatan atau dosa apa pun seperti semua manusia lainnya. Sesuai dengan rupa Allah, Kristus unggul dalam sifat-sifat tersebut. Namun, Dia tidak meninggikan diri dalam rupa itu. Dia tidak mencari kesenangan-Nya sendiri (Roma 15:3). Dia juga tidak menghina dan mencemooh orang yang diperbudak dan tunduk pada berbagai kejahatan.
Dia tidak seperti orang Farisi yang berkata, "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain" (Luk 18:11). Sebenarnya, orang ini senang melihat orang lain menderita. Dia tidak mau orang lain menjadi seperti dia. Ini sejenis pencurian di mana seseorang mengambil segala sesuatu untuk dirinya sendiri dan mempertahankannya. Dia tidak mau memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan, apalagi melayani orang lain dengan apa yang dia miliki agar dia menjadi lebih setara dengan orang lain. Orang seperti ini ingin menjadi seperti Tuhan, merasa cukup dengan diri sendiri, senang dengan diri sendiri, dan membanggakan diri sendiri. Dia tidak mau berhutang budi kepada siapa pun. Namun, bukan demikian pemikiran Kristus, bukan seperti itu kebijaksanaan-Nya. Dia melepaskan kejayaan-Nya kepada Bapa dan mengosongkan diri-Nya. Dia tidak mau menggunakan posisi-Nya untuk melawan kita. Dia tidak mau berbeda dengan kita. Bahkan, demi kita, Dia menjadi seperti kita dan mengambil rupa seorang hamba, artinya, Dia menundukkan diri-Nya pada segala kejahatan. Meskipun Dia bebas, seperti yang dikatakan Paulus tentang dirinya sendiri (1 Korintus 9:19), Dia menjadi hamba semua orang (Markus 9:35). Dia hidup seolah-olah semua penderitaan kita adalah penderitaan-Nya sendiri.
Dia menanggung dosa dan hukuman kita. Meskipun Dia menaklukkan dosa demi kita, Dia bertindak seolah-olah Dia menaklukkannya untuk diri-Nya sendiri. Meskipun Dia berkuasa menjadi Tuhan dan Raja kita, Dia tidak menginginkannya demikian. Dia lebih memilih untuk menjadi hamba kita, seperti yang tertulis di Roma 15:1, 3, "Jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: 'Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku'" (Mazmur 69:10). Kutipan Pemazmur memiliki arti yang sama dengan kutipan Paulus.
Banyak orang menafsirkan perikop ini berarti Kristus tidak menganggap dirinya setara dengan Allah. Namun sebenarnya, perikop ini lebih menunjukkan kebalikannya, artinya, Kristus tidak ingin menjadi setara dengan Allah seperti mereka yang berani mencuri kesetaraan itu dan berkata kepada Allah, "Kalau Engkau tidak mau memberikan kemuliaan-Mu kepada-ku (seperti kata St. Bernard), aku akan merebutnya sendiri!" Jadi, perikop ini bukan berarti Yesus tidak menganggap dirinya setara dengan Allah, karena faktanya Dia memang setara dengan Allah. Dia tidak mencuri kesetaraan itu. Penafsiran ini tidak didasarkan pada pemahaman yang tepat karena kita berbicara tentang Kristus sebagai manusia. Maksud Rasul Paulus adalah bahwa setiap orang Kristen harus menjadi pelayan bagi yang lain sesuai dengan teladan Kristus. Jika seseorang memiliki hikmat, kebenaran, atau kekuatan sehingga ia dapat melampaui orang lain dan bermegah dalam "rupa Allah", ia seharusnya tidak mempertahankan semua itu untuk dirinya sendiri, tetapi menyerahkannya kepada Allah dan menjadi seolah-olah ia tidak memilikinya (2 Korintus 6:10).
Maksud Paulus adalah ketika seseorang sudah melupakan dirinya dan mengosongkan dirinya dari karunia Tuhan, ia seharusnya bersikap seolah-olah kelemahan, dosa, dan kebodohan sesamanya adalah miliknya sendiri. Ia tidak boleh menyombongkan diri atau membanggakan diri. Ia juga tidak boleh merendahkan atau merasa lebih baik daripada sesamanya seolah-olah ia adalah Tuhan atau setara dengan Tuhan. Manusia menjadi pelaku pencurian ketika ia mengabaikan fakta bahwa kedaulatan Tuhan hanya boleh dimiliki oleh Tuhan sendiri. Dengan cara inilah seseorang mengambil rupa seorang hamba dan menggenapi perintah Rasul dalam Galatia 5:13, "Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih." Dengan ilustrasi anggota tubuh, Paulus mengajarkan dalam Roma 12:4-5 dan 1 Korintus 12:12-27 bagaimana anggota tubuh yang kuat, terhormat, dan sehat tidak memegahkan diri atas anggota tubuh yang lemah, kurang terhormat, dan sakit dan bersikap seolah-olah mereka adalah tuan dan tuhannya. Sebaliknya, yang kuat itu lebih lagi melayani yang lemah, dengan melupakan kehormatan, kesehatan, dan kekuatan mereka sendiri. Karena tidak ada anggota tubuh yang melayani dirinya sendiri, atau mencari kesejahteraan dirinya sendiri, tetapi kesejahteraan anggota tubuh yang lain. Semakin lemah, semakin sakit, semakin kurang terhormat suatu anggota tubuh, anggota tubuh yang lain semakin melayaninya, seperti perkataan Paulus, "supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan" (1 Korintus 12:25). Sekarang jelas bagaimana seseorang harus bersikap terhadap sesamanya dalam setiap situasi.
Jika kita tidak dengan sukarela menanggalkan rupa Allah dan mengambil rupa seorang hamba, biarlah kita dipaksa untuk melakukannya meskipun itu bertentangan dengan keinginan kita. Perhatikanlah kisah dalam Lukas 7:36-50. Dalam kisah ini, Simon si kusta berbuat seolah-olah ia memiliki rupa Allah dan berpaut pada kebenarannya sendiri. Ia dengan sombong menghakimi dan merendahkan Maria Magdalena. Ia melihat dalam diri Maria rupa seorang hamba. Namun lihatlah bagaimana Kristus segera melucutinya dari rupa kebenaran itu dan mengenakan kepadanya rupa dosa dengan berkata, "Engkau tidak mencium Aku... Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak." Betapa besar dosa-dosa Simon yang tidak disadari olehnya! Dia juga tidak menganggap dirinya buruk rupa oleh rupanya yang begitu menjijikkan. Perbuatan baiknya sama sekali tidak diingat. Kristus mengabaikan rupa Allah yang di dalamnya Simon menyenangkan dirinya sendiri dengan angkuh. Kristus tidak memperhitungkan fakta bahwa Dia diundang, dijamu, dan dihormati oleh Simon. Simon si kusta sekarang tidak lebih dari seorang berdosa. Dia yang menganggap dirinya benar, duduk dalam kemuliaan rupa Allah. Namun, dia akan dipermalukan dalam rupa seorang hamba, entah dia bersedia atau tidak. Di sisi lain, Kristus menghormati Maria dengan rupa Allah dan meninggikannya di atas Simon, dengan berkata, "Ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi." Betapa besar perbuatan baik Maria yang tidak disadari olehnya maupun oleh Simon. Kesalahan-kesalahannya tidak diingat lagi. Kristus mengabaikan rupa hamba dalam diri Maria yang telah Dia tinggikan dengan rupa kemuliaan. Maria adalah orang benar, yang ditinggikan ke dalam kemuliaan rupa Allah.
Demikian pula Tuhan akan memperlakukan kita apabila kita, atas dasar kebenaran, hikmat, atau kuasa kita sendiri, menjadi sombong atau marah kepada mereka yang tidak benar, bodoh, atau kurang berkuasa dibandingkan kita. Karena ketika kita bertindak demikian, yang merupakan kesalahan terbesar, inilah yang terjadi: kebenaran melawan kebenaran, hikmat melawan hikmat, dan kuasa melawan kuasa. Kita kuat, bukan untuk membuat yang lemah menjadi lebih lemah dengan penindasan, tetapi agar kita dapat membuat mereka memiliki kuasa dengan mengangkat dan membela mereka. Kita diberi hikmat, bukan untuk menertawakan orang bodoh dan membuat mereka semakin bodoh, tetapi agar kita dapat mengajari mereka seperti kita sendiri ingin diajari. Kita dibenarkan agar kita dapat membenarkan dan mengampuni yang tidak benar, bukan agar kita dapat mengutuk, meremehkan, menghakimi, dan menghukum. Karena inilah teladan Kristus bagi kita, seperti yang Dia katakan: "Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia" (Yohanes 3:17). Dia juga berkata dalam Lukas 9:55-56 (MILT), "Kamu tidak memahami, dari roh semacam apa kamu berasal! Sebab Anak Manusia datang tidak untuk membinasakan jiwa manusia, tetapi untuk menyelamatkannya."
Sifat kedagingan manusia sangat pemberontak. Ia sangat suka hukuman, membanggakan kebenarannya sendiri, dan mempermalukan sesamanya karena ketidakbenaran mereka. Karena itu, ia suka membela dirinya sendiri dan senang karena dirinya lebih baik dari sesamanya. Ia menentang sesamanya dan ingin sesamanya terlihat buruk. Kecenderungan ini sangat jahat dan bertentangan dengan kasih, yang tidak mencari keuntungannya sendiri, melainkan keuntungan orang lain (1 Korintus 13:5; Filipi 2:4). Seharusnya ia prihatin jika keadaan sesamanya tidak lebih baik dari keadaannya sendiri. Seharusnya ia berharap agar keadaan sesamanya lebih baik daripada keadaannya sendiri, dan apabila keadaan sesamanya memang lebih baik, ia seharusnya bersukacita seperti ketika keadaannya sendiri lebih baik. "Karena inilah [esensi] hukum Taurat dan kitab nabi-nabi" (Matius 7:12).
Namun, saudara mungkin berkata, "Bukankah orang jahat boleh dihukum? Bukankah dosa pantas dihukum? Bukankah kita berkewajiban membela kebenaran? Jika tidak dilakukan, ini akan membuka jalan untuk pelanggaran hukum."
Jawaban saya: Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan satu jawaban. Kita harus membedakan orang. Orang bisa dibedakan menjadi dua: tokoh masyaratat atau orang pribadi.
Apa yang kita bicarakan tadi tidak berlaku untuk tokoh masyarakat, yakni mereka yang diberi tanggung jawab khusus oleh Tuhan. Fungsi mereka diperlukan untuk menghukum dan menghakimi orang jahat serta membenarkan dan membela orang tertindas, sebab bukan mereka melainkan Tuhanlah yang melakukan ini. Dalam hal ini, mereka adalah hamba-Nya, seperti yang dijelaskan Rasul Paulus secara panjang lebar dalam Roma 13:4, "Karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang, dst." Namun ini berlaku untuk kasus orang lain, bukan untuk kasus mereka sendiri. Tidak ada seorang pun boleh bertindak sebagai wakil Tuhan demi dirinya sendiri dan hal-hal miliknya, ia hanya boleh melakukan itu demi orang lain. Jika seorang pejabat masyarakat menghadapi masalah pribadi, dia harus meminta orang lain untuk bertindak sebagai wakil Tuhan. Dalam hal ini, dia bukan hakim, tetapi salah satu dari pihak yang berperkara. Mengenai hal ini, kita akan bahas lebih lanjut di lain waktu. Karena ini adalah topik yang luas dan membutuhkan waktu untuk dibahas secara mendalam.
Orang pribadi ada tiga macam, masing-masing dengan kasusnya sendiri. Kelompok pertama adalah orang yang mencari pembalasan dan penghakiman dari wakil Tuhan. Sekarang ini banyak sekali orang yang seperti ini. Paulus menoleransi orang seperti ini, tetapi dia tidak setuju. Paulus berkata di 1 Korintus 6:12, "Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna." Di pasal yang sama, Paulus berkata, "Adanya saja perkara di antara kamu yang seorang terhadap yang lain telah merupakan kekalahan bagi kamu" (1 Korintus 6:7). Namun untuk menghindari hal yang lebih buruk, dia menoleransi hal yang lebih ringan ini, agar mereka tidak membenarkan diri dan saling serang, membalas dendam, dan mengejar keuntungan pribadi. Meski demikian, mereka tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga kecuali mereka berubah, yakni dengan meninggalkan hal-hal yang hanya ditoleransi, lalu mengejar hal yang bermanfaat. Keinginan untuk mencari keuntungan sendiri harus dihancurkan.
Kelompok kedua adalah orang yang tidak menginginkan pembalasan. Sebaliknya, sesuai dengan Injil (Matius 5:40), kepada mereka yang ingin mengambil baju mereka, mereka siap memberikan jubah mereka juga, dan mereka tidak melawan kejahatan apa pun. Mereka ini anak-anak Allah, saudara di dalam Kristus, ahli waris untuk berkat di masa mendatang. Dalam Alkitab, mereka disebut "yatim", "janda", atau "orang terlantar" karena mereka tidak melakukan pembalasan sendiri, Allah ingin disebut sebagai "Bapa" dan "Hakim" mereka (Mazmur 68:5). Bukannya membalas, jika pihak berwenang ingin melakukan pembalasan atas nama mereka, mereka tidak menginginkannya, atau paling-paling hanya mengizinkannya. Atau, jika mereka termasuk orang yang punya kuasa, mereka akan melarang dan mencegahnya karena mereka lebih suka kehilangan milik mereka yang lain.
Bisa saja saudara berkata, "Orang seperti itu sangat jarang. Siapa yang bisa bertahan di dunia ini kalau harus melakukan semua itu?" Jawaban saya, bukanlah hal yang baru bahwa hanya sedikit orang yang diselamatkan, dan gerbang yang menuju kehidupan sempit dan yang menemukannya pun sedikit (Matius 7:14). Namun, apabila tidak ada yang melakukannya, bagaimana Alkitab dapat menyatakan bahwa orang miskin, yatim, dan janda adalah "umat Kristus"? Jadi, mereka yang berada di kelompok kedua ini lebih sedih karena dosa orang yang berbuat salah kepada mereka daripada karena kerugian atau kesalahan yang mereka alami. Mereka ingin bisa mengingatkan orang yang berbuat salah itu akan dosanya daripada membalas kesalahan yang mereka alami. Karena itu, mereka menanggalkan kebenaran mereka sendiri dan mengenakan kebenaran orang lain, berdoa untuk penganiaya mereka, memberkati orang yang mengutuk mereka, berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada mereka, siap membayar denda dan ganti rugi bagi musuh mereka agar musuhnya itu diselamatkan (Matius 5:44). Inilah Injil dan teladan Kristus (Lukas 23:34).
Kelompok ketiga adalah orang yang dalam keyakinan mereka seperti kelompok kedua di atas, tetapi praktiknya tidak demikian. Mereka adalah orang yang menuntut kembali harta benda mereka atau berusaha agar hukuman dijatuhkan, bukan karena mereka mencari keuntungan sendiri, tetapi melalui hukuman dan pengembalian harta benda, mereka ingin orang yang mencuri atau berbuat salah itu menjadi lebih baik. Mereka menganggap orang yang berbuat salah tidak bisa diperbaiki tanpa hukuman. Mereka disebut orang "fanatik" dan Alkitab memuji mereka. Namun tidak seorang pun boleh mencoba hal ini kecuali dia dewasa dan sangat berpengalaman di kelompok kedua yang disebutkan di atas. Jangan-jangan, ia keliru mengira murkanya adalah semangat membela kebenaran dan ketidaksabarannya sebagai cinta akan keadilan. Karena kemarahan itu seperti semangat, dan ketidaksabaran itu seperti cinta akan keadilan sehingga keduanya sulit dibedakan kecuali oleh orang yang sangat rohani. Kristus menunjukkan semangat seperti itu ketika Dia membuat cambuk dan mengusir para penjual dan pembeli dari Bait Suci, seperti yang diceritakan dalam Yohanes 2:14-17. Paulus juga melakukan hal yang sama ketika dia berkata, "Haruskah aku datang kepadamu dengan cambuk atau dengan kasih dan dengan hati yang lemah lembut?" (1 Korintus 4:21).